PENJELASAN DETAIL OTONOMI DAERAH
BAB 1
PENDAHULUAN
I.
Latar belakang otonomi daerah
Kebijakan
otonomi daerah lahir ditengah gejolak tuntutan berbagai daerah terhadap
berbagai kewenangan yang selama 20 tahun pemerintahan Orde Baru (OB)
menjalankan mesin sentralistiknya. UU No. 5 tahun 1974 tentang pemerintahan
daerah yang kemudian disusul dengan UU No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan
desa menjadi tiang utama tegaknya sentralisasi kekuasaan OB. Semua mesin
partisipasi dan prakarsa yang sebelumnya tumbuh sebelum OB berkuasa, secara
perlahan dilumpuhkan dibawah kontrol kekuasaan.
Stabilitas
politik demi kelangsungan investasi ekonomi (pertumbuhan) menjadi alasan
pertama bagi OB untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang tumbuh dari rakyat.
Otonomi daerah muncul sebagai bentuk veta comply terhadap sentralisasi yang
sangat kuat di masa orde baru. Berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru
tidak membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah
maupun masyarakat daerah. Ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah
pusat sangat tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan
pemerintah daerah saat itu.
Di masa orde
baru semuanya bergantung ke Jakarta dan diharuskan semua meminta uang ke
Jakarta. Tidak ada perencanaan murni dari daerah karena Pendapatan Asli Daerah
(PAD) tidak mencukupi. Ketika Indonesia dihantam krisis ekonomi tahun 1997 dan
tidak bisa cepat bangkit, menunjukan sistem pemerintahan nasional Indonesia
gagal dalam mengatasi berbagai persoalan yang ada. Ini dikarenakan aparat
pemerintah pusat semua sibuk mengurusi daerah secara berlebih-lebihan. Semua
pejabat Jakarta sibuk melakukan perjalanan dan mengurusi proyek di daerah. Dari
proyek yang ada ketika itu, ada arus balik antara 10 sampai 20 persen uang
kembali ke Jakarta dalam bentuk komisi, sogokan, penanganan proyek yang
keuntungan itu dinikmati ke Jakarta lagi.
Terjadi
penggerogotan uang ke dalam dan diikuti dengan kebijakan untuk mengambil hutang
secara terus menerus. Akibat perilaku buruk aparat pemerintah pusat ini,
disinyalir terjadi kebocoran 20 sampai 30 persen dari APBN. Akibat lebih jauh
dari terlalu sibuk mengurusi proyek di daerah, membuat pejabat di pemerintahan
nasional tidak ada waktu untuk belajar tentang situasi global, tentang
international relation, international economy dan international finance. Mereka
terlalu sibuk menggunakan waktu dan energinya untuk mengurus masalah-masalah
domestik yang seharusnya bisa diurus pemerintah daerah.
Akibatnya
mereka tidak bisa mengatasi masalah ketika krisis ekonomi datang dan tidak tahu
apa yang harus dilakukan. Sentralisasi yang sangat kuat telah berdampak pada
ketiadaan kreativitas daerah karena ketiadaan kewenangan dan uang yang cukup.
Semua dipusatkan di Jakarta untuk diurus. Kebijakan ini telah mematikan
kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah, baik pemerintah maupun masyarakatnya.
Akibat lebih lanjut, adalah adanya ketergantungan daerah kepada pemerintah
pusat yang sangat besar. Bisa dikatakan sentralisasi is absolutely bad. Dan
otonomi daerah adalah jawaban terhadap persoalan sentralisasi yang terlalu kuat
di masa orde baru. Caranya adalah mengalihkan kewenangan ke daerah. Ini
berdasarkan paradigma, hakikatnya daerah sudah ada sebelum Republik Indonesia
(RI) berdiri.
Jadi
ketika RI dibentuk tidak ada kevakuman pemerintah daerah. Karena itu, ketika RI
diumumkan di Jakarta, daerah-daerah mengumumkan persetujuan dan dukungannya.
Misalnya pemerintahan di Jakarta, sulawesi, sumatera dan Kalimantan mendukung.
Itu menjadi bukti bahwa pemerintahan daerah sudah ada sebelumnya. Prinsipnya,
daerah itu bukan bentukan pemerintah pusat, tapi sudah ada sebelum RI berdiri.
Karena itu, pada dasarnya kewenangan pemerintahan itu ada pada daerah, kecuali
yang dikuatkan oleh UUD menjadi kewenangan nasional. Semua yang bukan
kewenangan pemerintah pusat, asumsinya menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Maka,
tidak ada penyerahan kewenangan dalam konteks pemberlakuan kebijakan otonomi
daerah. Tapi, pengakuan kewenangan. Lahirnya reformasi tahun 1997 akibat
ambruknya ekonomi Indonesia dengan tuntutan demokratisasi telah membawa
perubahan pada kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya pola hubungan pusat
daerah. Tahun 1999 menjadi titik awal terpenting dari sejarah desentralisasi di
Indonesia. Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para
anggota Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu 1999 ditetapkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengoreksi UU No.5
Tahun 1974 yang dianggap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelenggaraan
pemerintahan dan perkembangan keadaan.
Kedua
Undang-Undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan mulai
tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan yang
demokratis antara pusat dan daerah. Undang-Undang Otonomi Daerah bertujuan
untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah
merealisasikan aspirasinya dengan memberikan kewenangan yang luas yang
sebelumnya tidak diberikan ketika masa orde baru. Paling tidak ada dua faktor
yang berperan kuat dalam mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU
No. 22/1999. Pertama, faktor
internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan politik sentralisme
di masa lalu. Kedua, adalah
faktor eksternal yang dipengaruhi oleh dorongan internasional terhadap
kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi
sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.
Secara
khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi
daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Selama lima tahun
pelaksanaan UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah telah menjadi kebutuhan
politik yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi. Bukan hanya kenyataan
bahwa masyarakat Indonesia sangat heterogen dari segi perkembangan politiknya,
namun juga otonomi sudah menjadi alas bagi tumbuhnya dinamika politik yang
diharapkan akan mendorong lahirnya prakarsa dan keadilan.
Walaupun
ada upaya kritis bahwa otonomi daerah tetap dipahami sebagai jalan lurus bagi
eksploitasi dan investasi , namun sebagai upaya membangun prakarsa
ditengah-tengah surutnya kemauan baik (good will) penguasa, maka otonomi daerah
dapat menjadi “jalan alternative “ bagi tumbuhnya harapan bagi kemajuan daerah.
Namun demikian, otonomi daerah juga tidak sepi dari kritik. Beberapa
diantaranya adalah; (1) masalah yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan
yang ditandai dengan korupsi “berjamaah” di berbagai kabupaten dan propinsi
atas alasan apapun. Bukan hanya modus operandinya yang berkembang, tetapi juga
pelaku, jenis dan nilai yang dikorupsi juga menunjukkan tingkatan yang lebih
variatif dan intensif dari masa- masa sebelum otonomi diberlakukan. (2)
persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan
(atas nama) Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Eksploitasi
sumber daya alam untuk memperbesar PAD berlangsung secara masif ketika otonomi
daerah di berlakukan. Bukan hanya itu, alokasi kebijakan anggaran yang
dipandang tidak produktif dan berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat juga
marak diberbagai daerah. (3) persoalan yang berkaitan dengan hubungan antara
pemerintah propinsi dan kabupaten. Otonomi daerah yang berada di kabupaten
menyebabkan koordinasi dan hirarki kabupaten propinsi berada dalam stagnasi.
Akibatnya posisi dan peran pemerintah propinsi menjadi sekunder dan kurang
diberi tempat dari kabupaten dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya. Tidak
hanya menyangkut hubungan antara propinsi dan kabupaten, tetapi juga antara
kabupaten dengan kabupaten. Keterpaduan pembangunan untuk kepentingan satu
kawasan seringkali macet akibat dari egoisme lokal terhadap kepentingan
pembangunan wilayah lain. Konflik lingkungan atau sumberdaya alam yang kerap
terjadi antar kabupaten adalah gambaran bagaimana otonomi hanya dipahami oleh
kabupaten secara sempit dan primordial.
(4)
persoalan yang berhubungan dengan hubungan antara legislatif dan eksekutif ,
terutama berkaitan dengan wewenang legislatif. Ketegangan yang seringkali
terjadi antara legisltif dan eksekutif dalam pengambilan kebijakan menyebabkan
berbagai ketegangan berkembang selama pelaksanaan otonomi. Legislatif sering
dituding sebagai penyebab berkembangnya stagnasi politik ditingkat lokal. Pada
saat rakyat Indonesia disibukkan dengan pelaksanakan Pemilu 2004, Departemen
Dalam Negeri (Depdagri) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan revisi
terhadap UU No. 22 tahun 1999. Dilihat dari proses penyusunan revisi, paling
tidak ada dua cacat yang dibawa oleh UU yang baru (UU No. 32 tahun 2004) yakni,
proses penyusunan yang tergesa-gesa dan tertutup ditengah-tengah rakyat sedang
melakukan hajatan besar pemilu. Padahal UU otonomi daerah adalah kebijakan yang
sangat penting dan menyangkut tentang kualitas pelaksanaan partisipasi rakyat
dan pelembagaan demokrasi. Kedua, UU tersebut disusun oleh DPR hasil pemilu
2004 dimana pada waktu penyusunan revisi tersebut anggota DPR sudah mau
demisioner.
Tanggal
29 September 2004 bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode
1999-2004, Sidang Paripurna DPR menyetujui rancangan perubahan (revisi)
terhadap UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004.Tanggal 1 Oktober
Anggota DPR baru hasil pemilu 2004 dilantik. Secara defacto DPR pemilu 1999
sudah kehilangan relevansinya untuk menyusun dan mengagendakan pembahasan
kebijakan yang sangat krusial. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati
Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah daerah
maka akan membuat proses pembangunan, pemberdayaan dan pelayanan yang
signifikan. Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan
untuk mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi
terlalu sibuk dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih
berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro strategis serta lebih punya waktu
untuk mempelajari,memahami, merespons, berbagai kecenderungan global dan
mengambil manfaat darinya.
II.
Pengertian Otonomi Daerah Pengertian atau Definisi
Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan (pasal 1 huruf (h) UU NOMOR 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah). Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah).
III.
VISI OTONOMI DAERAH
Politik: Harus
dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya Kepala
Pemerintahan Daerah yang dipilh secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya
penyelenggaraan pemerintahan yang responsife; Ekonomi: Terbukanya peluang bagi
pemerintah di daerah mengembangkan kebijakan regional dan local untuk
mengoptimalkan lpendayagunaan potensi; Sosial: Menciptkan kemampuan masyarakat
untukmerespon dinamika kehidupan di sekitarnya.
BAB II
ISTILAH DAN PENGERTIAN SISTEM DESENTRALISASI
A.
Pengertian Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang berarti
penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari
rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia . Dalam kaitannya
dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali
dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi
sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi
juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan
sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah.Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, desentralisasi adalah penyerahan urusan
pemerintah dari pusat kepada daerah. Pelimpahan wewenang kepada Pemerintahan
Daerah, semata- mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Tujuan
dari desentralisasi adalah :
· mencegah
pemusatan keuangan
· sebagai
usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk mengikutsertakan rakyat
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan pemerintahan. · Penyusunan
program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat local sehingga
dapat lebih realistis. Sedangkan tujuan desentralisasi menurut smith(1985)
membedakan secara umum 2 tujuan utama desentralisasi yaitu “political and
economic goals”lalu smith mencoba mengupas secara tujuan dari desentralisasi
secara lebih rinci membedakan tujuan desentralisasi bila dilihat dari sudut
pandang kepentingan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Untuk
kepentingan pemerintah pusat smith menegaskan sedikitnya ada 3 tujuan
desentralisai yaitu: “political education,training in political leadership,and
for political stability” Untuk kepentingan pemerintah daerah menurut smith ada
3 tujuan desentralisasi yaitu : “political equality,local accountability,and
local responsiveness”
Empat bentuk
desentralisasi, yaitu:
•
Dekonsentrasi wewenang administratif
• Delegasi
kepada penguasa otorita
• Devolusi
kepada pemerintah daerah
• Pemindahan
fungsi dari pemerintah kepada swasta Sentralisasi pelayanan dan pembinaan
kepada rakyat tidak mungkin dilakukan dari pusat saja. Oleh karena itu, wilayah
Negara dibagi atas daerah besar dan daerah kecil. Untuk keperluan tersebut,
diperlukan asas dalam mengelola daerah yang meliputi : Desentralisasi pelayanan
rakyat /public.
Adpun filsafat yang dianut adalah: Pemerintah Daerah ada karena ada rakyat yang
harus dilayani. Desentralisasi merupakan power sharing (otonomi formal dan
otonomi material). Otonomi daerah bertujuan memudahkan pelayanan kepada rakyat.
Oleh karena itu, outputnya hendaknya berupa pemenuhan bahan kebutuhan pokok
rakyat-public goods-dan peraturan daerah-public regulation agar rakyat tertib
dan adanya kepastian hukum. ,kebijakan desentralisasi mempunyai tujuan politis
dan administrasi, tetapi tujuan utamanya adalah pealayanan kepada rakyat.
Dekonsentrasi : diselenggarakan karena tidak semua tugas-tugas teknis pelayanan
kepada rakyat dapat diselengarakan dengan baik oleh Pemerintah Daerah
(kabupaten/kota). Dekonsentrasi terdiri atas fungsional (kanwil/kandep) dan
terintregrasi (kepala wilayah). Pada kenyataannya, otonomi daerah di Indonesia
secara luas tidak/belum pernah terlaksana. Sejak masa penjajahan Belanda,
Jepang, dan setelah kemerdekaan otonomi masih dalam bentuk dekonsentrasi.
Di
samping system desentralisasi dan dekonsentrasi yang dipergunakan oleh system
pemerintahan daerah, juga dikenal tugas bantuan yang dilakukan oelh pemerintah
daerah untuk iktu melaksanakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah
atasannya. Penyelenggaraan rumah tangga sendiri dilakukan atas dasar inisiatif
dan kebijaksanaan sendiri, namun demikian tidak berarti, bahwa
penyelenggaraannya terlepas sama sekali dari garis- garis yang telah ditentukan
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah atasannya. Hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah tetap terpelihara dengan melakukan pengawasan untuk
mecegah timbulnya perselisihan yang tidak dikehendaki. Pengawasan preventif
merupakan tindakan pencegahan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan
terhadap penyelenggaraan urusan rumah tangga sendiri. Pengawasan ini dilakukan
dengan memberikan pengesahan lebih dahulu oleh pemerintah pusat atau pemerintah
daerah atasannya terhadap suatu peraturan sebelum peraturan itu dilaksanakan
oleh pemerintah daerah.
B. KONSEP dan TEORI DESENTRALISASI
Desentralisasi
saat ini telah menjadi azas penyelenggaraan pemerintahan yang diterima secara
universal dengan berbagai macam bentuk aplikasi di setiap negara. Hal ini
sesuai dengan fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan
secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan
masyarakat, kemajemukan struktu sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan
demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi memiliki
berbagai macam tujuan. Secara umum tujuan tersebut dapat diklasifikasi ke dalam
dua variabel penting, yaitu pertama peningkatan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan (yang merupakan pendekatan model efisiensi
struktural/structural efficiency model) dan kedua peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan (yang merupakan pendekatan model
partisipasi/ participatory model). Setiap negara lazimnya memiliki titik berat
yang berbeda dalam tujuan-ujuan desentralisasinya tergantung pada kesepakatan
dalam konstitusi terhadap arah pertumbuhan (direction of growth)yang akan
dicapai melalui desentralisasi.
Dalam
konteks Indonesia, Desentralisasi telah menjadi konsensus pendiri bangsa. Pasal
18 UUD 1945 yang sudah diamandemen dan ditambahkan menjadi pasal 18, 18A dan
18B memberikan dasar dalam penyelenggaraan desentralisasi. Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Propinsi, dan daerah provinsi itu
dibagi atas Kabupaten dan Kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan
daerah. Amanat dan Konsensus Konstitusi ini telah lama dipraktekkan sejak
Kemerdekaan Republik Indonesia dengan berbagai pasang naik dan pasang surut
tujuan yang hendak dicapai melalui desentralisasi tersebut. Bahkan Sampai saat
ini, kita telah memiliki 7 (tujuh) Undang-Undang yang mengatur pemerintahan
daerah yaitu UU 1 tahun 1945, UU 22 tahun 1948, UU 1 tahun 1957, UU 18 tahun
1965, UU 5 tahun 1974, UU 22 tahun 1999 dan terakhir UU 32 tahun 2004.
C.
KELEBIHAN dan KEKURANGAN DESENTRALISASI
Kelebihan
sistem ini adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat
diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Kekurangan dari
sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang
itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk
mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi. Hal ini terjadi karena sulit
dikontrol oleh pemerinah pusat.
D. DAMPAK POSITIF dan DAMPAK NEGATIF DESENTRALISASI
Dampak
positif dalam bidang politik adalah sebagian besar keputusan dan kebijakan yang
berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari
pemerintahan di pusat. Hal ini menyebabkan pemerintah daerah lebih aktif dalam
mengelola daerahnya. Tetapi, dampak negatif yang terlihat dari sistem ini
adalah euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya mementingkat
kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan untuk mengeruk keuntungan
pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi karena sulit untuk dikontrol oleh
pemerintah di tingkat pusat. Untuk mendukung jalannya pemerintahan di daerah,
diperlukan dana yang tidak sedikit. Akan tetapi, tidak semua daerah mampu
mendanai sendiri jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu, Pemerintah harus
mampu membagi adil dan merata hasil potensi masyarakat. Agar adil dan merata,
diperlukan aturan yang baku.
Dari
ketentuan tersebut, dikeluarkan beberapa istilah tentang dana untuk keperluan
pembinaan wilayah, antara lain:
1.
Pendapatan
Asli Daerah (PAD)
· Hasil pajak daerah
· Hasil restribusi daerah
· Hasil perusahan milik daerah, dan hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
· Lain-lain pendapatan asli daerah yang
sah,antara lain hasil penjualan asset daerah dan jasa giro
2.
Dana
Perimbangan
·
Dana Bagi Hasil
· Dana Alokasi Umum (DAU)
· Dana Alokasi Khusus
3.
Pinjaman Daerah
4.
Pinjaman Dalam
Negeri
1. Pemerintah pusat
2. Lembaga keuangan bank
3. Lembaga keuangan bukan bank\
4. Masyarakat (penerbitan obligasi daerah)
· Pinjaman Luar Negeri
a. Pinjaman bilateral
b. Pinjaman multilateral, dll
BAB III
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN OTONOMI DAERAH
Suatu
sistem sudah tentu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam implementasinya. Hal
ini tentu disesuaikan dengan kondisi masing- masing Negara. Penerapan
desentralisasi dalam otonomi daerah di Indonesia ingin menjawab beberapa
tantangan untuk pembangunan. Pemerintah yang memilih desentralisasi memandang
bahwa dengan penerapan desentralisasi dapat meningkatkan stabilitas politik dan
kesatuan bangsa karena masing-masing daerah memiliki kebebasan dalam
pengambilan keputusan sehingga dapat meningkatkan keterlibatan dalam sistem
politik. Dengan adanya desentralisasi ini, maka Pemerintah Daerah diberikan
wewenang lebih besar dalam pengambilan keputusan bagi daerahnya dengan
pendekatan yang lebih sesuai.
Pemberlakuan
desentralisasi juga dapat mengurangi biaya atas penyediaan layanan publik
dengan menekan diseconomy of scale. Desentralisasi juga memiliki kelemahan yang
harus dievaluasi. Di banyak Negara yang mengadopsi desentralisasi, jarang
terdengar cerita- cerita sukses dengan diberlakukannya desentralisasi karena
hal ini tergantung pada karakteristik daerah masing-masing. Seperti contoh di
Negara-negara afrika, sistem desentralisasi justru tidak efektif dalam strategi
untuk mengurangi kemiskinan. Beberapa studi yang dilakukan di Negara-negara
berkembang ditemukan bahwa dengan sistem desentralisasi dapat mengurangi
kualitas dari pelayanan publik, dapat memperlebar disparitas antara daerah yang
satu dengan daerah yang lain dan juga cendrung dapat meningkatkan korupsi.
Otonomi
daerah ......>>> dilaksanakan dengan tujuan untuk mempercepat
pelaksanaan pembangunan, meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat di
daerah Provinsi, Kab/Kota di seluruh Indonesia.
Adapun
Kekurangan dan kelebihan adanya sistem otonomi daerah diantaranya :
A. Kelebihan/keuntungan : Pemerintah Prov/Kab/Kota mampu melihat kebutuhan
yang mendasar pada daerahnya untuk menjadi prioritas pembangunan. Dengan
dilaksanakannya Otoda maka pembangunan didaerah tersebut akan maju, berkembang
dalam pembangunan daerah, peningkatan pelayanan dan kesejahteraan rakyat.
Daerah dapat mengatur sendiri tata kelola pemerintahannya, PAD dengan membentuk
Perda sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah yang lebih
tinggi. Pemerintah daerah bersama rakyat di daerah itu akan bersama-sama membangun
daerah untuk kemajuan dan kepentingan bersama. Dan lain-lain Pada dasarnya
kelebihan otonomi daerah biasanya daerah lebih mampu melihat persoalan yang
mendasar pada daerah masing-masing, jadi otonomi daerah akan membuat daerah itu
lebih maju, berkembang dan bersaing dengan daerah- daerah lain tanpa takut
dianaktirikan oleh pemerintah pusat.
B. Kekurangan/kerugian : Pemda ada yg mengatur daerahnya dengan
menetapkan Perda yang bertentangan dengan peraturan yg lebih tinggi, sehingga
berpotensi menimbulkan kerawanan di daerah. Kalau kontrol/pengawasan pemerintah
pusat lemah, maka besar peluangnya untuk munculnya raja-raja kecil yg
berpotensi terjadinya disintegrasi bangsa. Bila terjadi permasalahan di daerah,
misalnya KKN, maka bukan hanya pemda yg disalahkan, akan tetapi pemerintah
pusat akan kenah getahnya (kurang pengawasan). Peraturan yg ditetapkan
pemerintah pusat, kadang- kadang tidak sesuai dengan kondisi daerah tertentu,
sehingga menimbulkan multi tafsir yang dapat merugikan pemda dan rakyat didaerah
itu. Dan lain-lain Kekurangan yang mendasar pada sistem otonomi daerah adalah
daerah suka 'kebablasan" dalam mengatur daerahnya. suka membuat peraturan
daerah yang aneh-aneh demi mengisi kas daerah. Hal mana yang berdampak pada
kesejahteraan warga daerah itu sendiri. jadi sebaiknya otonomi daerah
diterapkan dengan pengawasan yang ketat dari pemerintah pusat.
BAB IV
STRUKTUR PEMERINTAHAN YANG DIHARAPKAN DARI SISTEM
OTONOMI DAERAH
A.
Dasar Hukum Otonomi Daerah
Dasar
Hukum Otonomi Daerah berpijak pada dasar Perundang-undangan yang kuat, yakni :
1.
Undang-undang DasarSebagaimana telah disebut di atas Undang-undang Dasar 1945
merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Pasal 18
UUD menyebutkan adanya pembagian pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah.
2. Ketetapan
MPR-RITap MPR-RI No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah :
Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan,
erta perimbangan kekuangan Pusat dan Daerah dalam rangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
3.
Undang-Undang Undang-undang N0.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah pada
prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan
pelaksanaan asas Desentralisasi. Hal-hal yang mendasar dalam UU No.22/1999
adalah mendorong untuk pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan
kreativitas, meningkatkan peran masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi
DPRD. Dari ketiga dasar perundang-undangan tersebut di atas tidak diragukan
lagi bahwa pelaksanaan Otonomi Daerah memiliki dasar hukum yang kuat. Tinggal
permasalahannya adalah bagaimana dengan dasar hukum yang kuat tersebut
pelaksanaan Otonomi Daerah bisa dijalankan secara optimal.
Pokok-Pokok
Pikiran Otonomi Daerah Isi dan jiwa yang terkandung dalam pasal 18 UUD 1945
beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan UU No. 22/1999 dengan pokok-pokok
pikiran sebagai berikut :
1.
Sistim ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip-prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas konsentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2.
Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah
daerah propinsi, sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
adalah daerah Kabupaten dan daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas
desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
3.
Pembagian daerah diluar propinsi dibagi habis ke dalam daerah otonom. Dengan
demikian, wilayah administrasi yang berada dalam daerah Kabupaten dan daerah
Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
4.
Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 th 1974 sebagai wilayah
administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut UU No 22/99 kedudukanya diubah
menjadi perangkat daerah Kabupaten atau daerah Kota.
B. Prinsif-prinsif Pelaksanaan Otonomi Daerah
Prinsip-Prinsip
Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasar pada UU No.22/1999 prinsip-prinsip
pelaksanaan Otonomi Daerah adalah sebagai berikut:
1.
Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek-aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2.
Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung
jawab
3.
Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah Kabupaten
dan daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan Otonomi Terbatas.
4.
Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan Konstitusi negara sehingga tetap
terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
5.
Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom,
dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan daerah Kota tidak ada lagi wilayah
administrasi.
6.
Kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain seperti Badan
Otorita, Kawasan Pelabuan, Kawasan Pertambangan, Kawasan Kehutanan, Kawasan
Perkotaan Baru, Kawasan Wisata dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan
Daerah Otonom.
7.
Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan
legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
8.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah Propinsi dalam
kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk memelaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil
Pemerintah.
9.
Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah
Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Perkembangan
Otonomi Daerah di Indonesia Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi
telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah,
tetapi dalam perkembangan sejarahnya ide otonomi daerah itu mengalami berbagai
perubahan bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik- menarik kalangan
elit politik pada masanya. Apabila perkembangan otonomi daerah dianalisis sejak
tahun 1945, akan terlihat bahwa perubahan- perubahan konsepsi otonomi banyak
ditentukan oleh para elit politik yang berkuasa pada saat it. Hal itu
terlihat jelas dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana
yang terdapat dalam
C. UU Pemerintah Daerah berikut ini:
1. UU No. 1 tahun 1945Kebijakan Otonomi
daerah pada masa ini lebih menitikberatkan pada dekonsentrasi. Kepala daerah
hanyalah kepanjangan tangan pemerintahan pusat.
2. UU No. 22 tahun
1948Mulai tahun ini Kebijakan otonomi daerah lebih menitikberatkan pada
desentralisasi. Tetapi masih ada dualisme peran di kepala daerah, di satu sisi
ia punya peran besar untuk daerah, tapi juga masih menjadi alat pemerintah
pusat.
3. UU No. 1
tahun 1957Kebijakan otonomi daerah pada masa ini masih bersifat dualisme, di
mana kepala daerah bertanggung jawab penuh pada DPRD, tetapi juga masih alat
pemerintah pusat.
4. Penetapan
Presiden No.6 tahun 1959Pada masa ini kebijakan otonomi daerah lebih menekankan
dekonsentrasi. Melalui penpres ini kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat
terutama dari kalangan pamong praja.
5. UU No. 8
tahun 1965Pada masa ini kebijakan otonomi daerah menitikberatkan pada
desentralisasi dengan memberikan otonomi yang seluas-luasnya bagi daerah,
sedangkan dekonsentrasi diterapkan hanya sebagai pelengkap saja
6. UU No. 5
tahun 1974 Setelah terjadinya G.30.S PKI pada dasarnya telah terjadi kevakuman
dalam pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan dikeluarkanya
UU NO. 5 tahun 1974 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan.
Sejalan dengan kebijakan ekonomi pada awal Ode Baru, maka pada masa berlakunya
UU No. 5 tahun 1974 pembangunan menjadi isu sentral dibanding dengan politik.
Pada penerapanya, terasa seolah-olah telah terjadi proses depolitisasi peran
pemerintah daerah dan menggantikannya dengan peran pembangunan yang menjadi isu
nasional.
7. UU No. 22 tahun 1999 Pada masa ini terjadi
lagi perubahan yang menjadikan pemerintah daerah sebagai titik sentral dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan mengedapankan otonomi luas,
nyata dan bertanggung jawab.
D. Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah
1. Kewenangan
Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan
fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2. Kewenangan
bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan
pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan,
sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan
pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
3. Kewenangan
Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus
disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
4. Kewenangan
Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka ekonsentrasi harus
disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
5. Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan
yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang
pemerintahan tertentu lainnya.
6. Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum
dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
7. Kewenangan
Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
8. Daerah
berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan
bertanggung jawab memelihara kelestarian
lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Daerah di
wilayah laut meliputi:
· Eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;
· Pengaturan
kepentingan administratif;
· Pengaturan
tata ruang; ·Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah
atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah; dan
· Bantuan
penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
9. Kewenangan
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut adalah sejauh sepertiga dari
batas laut Daerah Propinsi. Pengaturan lebih lanjut mengenai batas laut diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
10. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota
mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan
seperti kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain yang
mencakup kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan
nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara
dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya
manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis,
konservasi, dan standarisasi nasional.
11. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota
tidak mencakup kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Propinsi.
Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,
pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
12. Pemerintah
dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas
pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada
Pemerintah. Setiap penugasan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Bagaimana sudah jelas atau belum? Kalau belum coba baca kembali? kalau belum juga, kita pahami saja oke. Sekian terimakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar